Senin, 19 April 2010

Sejarah Panjang Makam Mbah Priok


dok/beritajakarta.com
BERITAJAKARTA.COM — 16-04-2010 13:08
Makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau lebih dikenal dengan sebutan makam Mbah Priok, di Jl TPU Dobo, Koja, Jakarta Utara, belakangan ini mendadak heboh. Setidaknya nama makam ini menjadi perbincangan hangat tidak hanya di seantero DKI Jakarta, akan tetapi sudah ke seluruh pelosok Indonesia bahkan hingga dunia internasional. Persisnya, setelah pecah konflik dan bentrok fisik antara petugas Satpol PP DKI dengan massa pengikut ahli waris makam Mbah Priok.

Bentrok fisik terjadi saat petugas akan melakukan penertiban terhadap gapura dan pendopo makam tersebut, yang diduga tak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), Rabu (14/4) pagi. Namun aksi petugas ini dihalau oleh 400-an massa hingga terjadi bentrok fisik yang menyebabkan tiga petugas Satpol PP meninggal dunia dan seratusan lainnya mengalami luka berat dan ringan.

Mungkin, nama makam Mbah Priok ini tidak akan sepopuler sekarang ini, jika tak ada bentrok fisik hingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Kendati sebelumnya memang, banyak orang yang sudah tahu atau bahkan rutin berziarah ke makam keramat tersebut. Akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak sekarang ini.

Bagi sebagian umat Islam di Jakarta, utamanya yang aktif dalam sebuah pengajian atau majelis taklim, bisa jadi telah mengetahui asal usul makam tersebut. Karena memang sejarah makam tersebut, sangat erat kaitannya dengan nama tokoh ulama besar yang juga penyebar agama Islam di DKI Jakarta dan di Pulau Jawa pada abad ke-18.

Kala itu, bagi masyarakat, nama Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau sekarang akrab disebut Mbah Priok, bukanlah tokoh biasa. Ia merupakan ulama besar, penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.

Mbah Priok bukan orang asli Jakarta, akan tetapi ia dilahirkan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan pada 1722 dengan nama Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A. Al Imam Al Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum akhirnya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam ilmu agama.

Menjadi penyebar syiar Islam adalah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam usia 29 tahun, ia pergi ke Pulau Jawa. Al Imam Al Arif Billah tak sendirian, ia pergi bersama Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad dan tiga orang lainnya menggunakan perahu. Konon, dalam perjalanannya, rombongan dikejar-kejar tentara Belanda. Namun mereka tak takluk.

Dalam perjalanan yang memakan waktu dua bulan itu, perahu mereka dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur ke laut, tinggal beberapa liter beras yang tercecer dan periuk untuk menanak nasi. Suatu saat, rombongan ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun habis dibakar. Saat itu, Mbah Priok memasukan periuk berisi beras ke jubahnya. Dengan doa, beras dalam periuk berubah menjadi nasi.

Cobaan belum berakhir, beberapa hari kemudian datang ombak besar disertai hujan dan petir. Perahu tak bisa dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sedangkan Al Imam Al Arif Billah dan Al Arif Billah Al Habib harus susah payah mencapai perahu hingga perahu yang saat itu dalam posisi terbalik.

Dalam kondisi terjepit dan tubuh lemah, keduanya lalu shalat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini berlangsung 10 hari, sehingga wafatlah Al Imam Al Arif Billah. Sedangkan Al Arif Billah Al Habib dalam kondisi lemah duduk di atas perahu disertai priuk dan sebuah dayung, terdorong ombak dan diiringi lumba-lumba menuju pantai.

Kejadian itu disaksikan beberapa orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah Al Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang sudah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di bagian kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil, yang akhirnya tumbuh menjadi pohon tanjung.

Sedangkan periuk nasi yang biasa digunakan untuk menanak beras secara ajaib diletakkan di sisi makam. Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut. Banyak orang mengaku jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk itu timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.

Berdasarkan kejadian itu, daerah tersebut akhirnya dinamakan dengan Tanjung Priuk. Nama Al Imam Al Arif Billah pun dikenal jadi `Mbah Priok. Sedangkan rekan perjalanan Mbah Priok, Al Arif Billah Habib Ali Al Haddad dikabarkan sempat menetap di daerah itu. Namun tak lama kemudian ia melanjutkan perjalanannya hingga berakhir di Sumbawa.

Mulanya, makam asli Mbah Priok ada di kawasan Pondok Dayung. Namun pada suatu saat, makam ini dipindahkan ke lokasi yang ada sekarang, di Jl TPU Dobo, Koja. Ironisnya, semakin berkembangnya kemajuan zaman, di kawasan pemakaman tersebut tumbuh kawasan pelabuhan terpadu Tangjungpriok. Hingga akhirnya, makam ulama besar ini posisinya berdampingan dengan terminal peti kemas (TPK) Koja dan pemukiman warga.

Masyarakat pun tak mempedulikannya, setiap saat selalu ziarah dan takziah di makam tersebut. Sholawat dan salam, takbir, tahmid senantiasa berkumandang di tempat tersebut. Bahkan setiap Kamis malam, umat muslim selalu berzikir, berdoa bersama, dan menggelar pengajian secara rutin. Umat muslim yang datang bukan hanya warga ibu kota, akan tetapi juga berasal dari berbagai pelosok di negeri ini. Biasanya kegiatan tersebut selalu diselingi dengan acara makan bersama, yang disajikan oleh para ahli waris makam tersebut.

Kodrat berdampingan dengan pelabuhan ini pula, nampaknya yang menjadi pemicu terjadinya konflik. Apalagi PT Pelindo mengklaim bahwa sebagian lahan yang digunakan dengan ahli waris adalah miliknya, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.

Sengketa kepemilikan tanah ini pun diajukan gugatan oleh Habib Muhamman bin Achmad selaku ahli wais makam Mbah Priok kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan nomor perkara 245/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Ut. Selain itu juga telah dikeluarkan putusan PN Jakarta Utara pada 5 Juni 2001 dengan amar putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima. Pertimbangan hukumnya adalah kuasa hukum penggugat tidak sah, gugatan penggugat tidak jelas dan kurang pihak.

Mendengar hal itu, ahli waris Mbah Priok beserta pengikutnya mengajukan protes. Mereka mengklaim bidang tanah ini milik ahli waris dan bukan milik PT Pelindo II. Klaim dinyatakan berdasarkan Eigendom Verponding No.4341 dan No.1780. Namun setelah dilakukan penelitian kembali oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara, tanah tersebut dinyatakan telah tertulis sebagai milik PT Pelindo II.

Kantor Pertanahan Jakarta Utara telah mengeluarkan surat tertanggal 6 Februari No 182/09.05/HTPT tentang permintaan penjelasan status tanah makam Al Haddad. Dalam surat tersebut dinyatakan status tertulis tanah di Jl Dobo atas nama Gouvernement Van Nederlandch Indie dan telah diterbikan sertifikat hak pengelolaan No 1/Koja utara atas nama Perum Pelabuhan II.

Setelah ada pembicaraan dengan ahli waris, disepakati makam dan kerangka Mbah Priok dipindahkan ke TPU Semper, Jakarta Utara pada 21 Agustus 1995. Sedangkan makam lainnya atau sebanyak 28.300 kerangka juga telah dipindahkan ke TPU Semper pada tahun 1995, sebagian kerangka ada yang dibawa ke luar kota sesuai permintaan ahli waris

Namun, pada September 1999, makam Mbah Priok dibangun kembali di lokasi bekas TPU Dobo, diikuti dengan satu bangunan liar berupa pendopo tanpa izin dari PT Pelindo II dan tidak memiliki IMB dari Dinas Pengawasan dan Penertiban (P2B) DKI Jakarta. Tentunya ini melanggar ketentuan UU No 51/Prp/ tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya.

Dengan dasar itulah, Pemprov DKI melakukan pembongkaran terhadap gapura dan pendopo itu. Alasan pembongkaran baru dilakukan sekarang karena tanah itu sudah diserahterimakan ke PT Pelindo II. Sehingga sudah menjadi tanggung jawab Pelindo II. Namun kemudian, PT Pelindo II meminta bantuan hukum kepada Pemprov DKI untuk membongkar bangunan liar tersebut, maka Pemprov DKI pun siap membantu melakukan penertiban bangunan karena dalam hal izin telah melanggar aturan yaitu tidak ada IMB.

Terkait hal tersebut, Kepala Bidang Informasi Publik Dinas Kominfo dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia, mengatakan, Pemprov DKI tidak akan membongkar makam Mbah Priok, akan tetapi hanya membongkar gapura dan pendopo yang ada di areal makam tersebut. “Sedangkan makam Mbah Priok tidak akan dibongkar dan justru akan dibuat monumen agar lebih bagus lagi dan tetap dapat dikunjungi warga. Karena kami tidak pernah melarang warga untuk mengunjungi makam tersebut,” kata Cucu, Jumat (16/4).

Wakil Walikota Jakarta Utara, Atma Sanjaya mengatakan, penertiban gapura dan pendopo di makam Mbah Priok ini sesuai dengan instruksi gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan. Sebab bangunan tersebut berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.

Konon pada tahun 1990-an makam ini juga pernah digusur dengan menggunakan alat berat jenis buldozer. Namun bukan kuburannya yang terbongkar, akan tetapi alatnya yang rusak dan operatornya esok harinya jatuh sakit. Padahal alat yang digunakan ini adalah buldozer dengan kondisi baru. Makam itu sudah berada ratusan tahun yang lalu, nama dari makam keramat itu adalah Al Habib Hasan Muhammad Al Haddad.

Belakangan tahun 2010, Pemprov DKI akan membongkar bangunan gapura dan pendopo yang dinilai tak ada izin mendirikan bangunannya. Namun upaya tersebut ditentang oleh seluruh pengikut Habib Zainal selaku ahli waris makam Mbah Priok tersebut.

Buntutnya, konflik hingga bentrok fisik pecah pada Rabu (14/) pagi hingga malam, saat 2000-an Satpol PP akan membongkar gapura dan pendopo yang ada di areal makam tersebut. Sekitar 400-an massa pengikut ahli waris makam Mbah Priok melakukan perlawanan. Mereka membekali diri dengan sejumlah peralatan mulai dari batu, ketapel, balok, potongan besi, hingga senjatan tajam jenis celurit, golok, serta bom molotov.

Massa kadung emosi lantaran tak terima makam tempat ziarah mereka diacak-acak. Kondisi ini kian memanas setelah disulut banyaknya selebaran gelap yang menyebutkan bahwa makam tersebut akan dibongkar, hingga rata dengan tanah dan lahannya akan diambil PT Pelindo. Padahal, sejak awal, Pemprov DKI menegaskan bahwa yang dibongkar itu hanya gapura dan pendoponya. Sedangkan makamnya, justru akan dipercantik, ditata, dan dibuatkan sebuah monumen. Bahkan makam tersebut akan dicatatkan sebagai bangunan cagar budaya yang memiliki sejarah tinggi.

Toh penjelasan Pemprov DKI ini sudah tak didengar lagi. Yang ada saat itu adalah hanya ada satu kata “lawan”. Tak heran massa pengikut ahli waris makam ini melakukan perlawanan pada petugas bahkan mereka rela mati demi sebuah pengabdian pada sang habib. Bentrok fisik pecah, tiga nyawa anggota Satpol PP melayang sia-sia, sedangkan seratusan orang lainnya, mengalami luka ringan dan luka parah hingga sekarat dan harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.

Tragedi berdarah ini memicu kemarahan umat Islam di wilayah lain. Mereka merasa disakiti, diiris-iris hatinya sehingga memberikan dukungan dan membanjiri kawasan Jakarta Utara. Gelombang aksi demo besar-besaran pun terjadi pada saat itu. Ratusan massa mengepung dan mengancam kantor walikota Jakarta Utara. Bahkan RSUD Koja pun tak luput dari serbuan massa. Mereka membabi buta, membakar seluruh mobil Satpol PP yang ada. Aksi penjarahan pun terjadi, seluruh bangkai kendaraan Satpol PP dan polisi, dipreteli. Sweeping terhadap anggota Satpol PP pun terus dilakukan hinga malam hari.

Pada esok harinya, Kamis (15/4), ribuan massa kembali turun ke jalan, mereka berunjuk rasa di depan Balaikota DKI di Jl Medan Merdeka Selatan. Tuntutannya adalah agar Pemprov DKI bertanggung jawab terhadap insiden ini dan menuntut agar Satpol PP dibubarkan. Beruntung, aksi yang dikawal oleh 1000-an anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Pusat ini tak berujung pada tindakan anarkis. Aksi tersebut berjalan damai.

Pada saat itu pula, tepatnya pukul 14.30, Pemprov DKI menggelar mediasi untuk menyelesaikan kasus makam Mbah Priok. Mediasi dipimpin oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, dengan dihadiri oleh para ahli waris makam Mbah Priok beserta beberapa pengacaranya dan Dirut PT Pelindo RJ Lino. Kapolda Metro Jaya Irjen Wahyono. Selain itu, hadir pula dari MUI, Komnas HAM, tokoh masyarakat, dan sebagainya.

Dari mediasi tersebut, melahirkan 9 poin kesepakatan yang harus dilaksnakan oleh pihak bertikai. Diharapkan, tidak ada lagi konflik atau bentrok fisik paska dikeluarkannya sembilan kesepakatan itu. “Mediasi ini menghasilkan 9 kesepakatan bersama yang diharapkan bisa membawa berkah dan kedamaian bagi Jakarta,” kata Prijanto, Wakil Gubernur DKI Jakarta, saat menjadi mediator antara ahli waris dan PT Pelindo, di Balaikota DKI, Kamis (15/4).

Ke-9 kesepakatan itu adalah, makam Mbah Priok tidak akan dipindah. Kemudian pendopo majelis taklim dan gapura makam akan digeser posisinya agar tidak mengganggu aktivitas pelabuhan serta terminal yang berfungsi sesuai standar internasional. “Terkait posisi gapura dan pendopo majelis akan digeser ke sebelah mana, kita serahkan kepada ahli waris dan PT Pelindo serta para tokoh agama,” ujarnya.

Kesepakatan berikutnya adalah, sisa tanah yang tengah dalam sengketa akan terus dibicarakan oleh kedua belah pihak hingga ditemukan solusinya. Untuk peristiwa bentrokan massal antara Satpol PP dan warga akan diserahkan pada hukum yang berlaku. Kesepakatan berikutnya adalah perlunya mengajak serta tokoh mayarakat dan tokoh agama untuk penyelesaian masalah. Kemudian PT Pelindo menyetujui untuk membuat MoU (perjanjian) hasil pembicaraan lebih lanjut dengan ahli waris.

Selanjutnya secara administrasi PT Pelindo II akan berkomunikasi dengan pihak ahli waris melalui tembusan Komisi A DPRD DKI Jakarta. Kemudian, PT Pelindo dan Pemprov DKI akan memperhatikan orang-orang yang menjadi korban dalam bentrokan pada Rabu (14/4) kemarin. Yakni biaya berobat di rumah sakit dan juga berobat jalan para korban bentrokan akan ditanggung oleh Pemprov DKI. Kesepakatan terakhir atau kesembilan adalah, pembicaraan antara ahli waris dan Pelindo akan dilangsungkan di Komnas HAM pada Jumat (16/4).

Ahli waris Habib Hasan Muhammad Al Haddad alias Mbah Priok yakni Habib Alwi Al Haddad, mengaku puas dengan hasil pertemuan ini. Ia berharap, pihak Pelindo tidak akan mengingkari sembilan kesepakatan yang telah dibacakan oleh Wagub Prijanto itu. Sebab selama ini, pihak ahli waris sudah merasa lelah dan tidak menginginkan lagi adanya pertikaian. “Secara keseluruhan saya puas dengan hasil pertemuan ini,” ucap Habib Alwi al Haddad.

Dirut PT Pelindo II, RJ Lino, menyetujui hasil pertemuan mediasi ini dan berjanji akan mematuhi seluruh kesepakatan. Salah satu kesepakatannya adalah untuk merenovasi dan memindahkan pendopo bersama-sama ahli waris. “Kita menyepakati hasil pertemuan, termasuk merenovasi pendopo dan juga akan dibuatkan Underground Tunnel serta tempat parkir di Jl Jampea. Kita juga akan membangun pagar di sekelilingnya agar tidak mengganggu kegiatan pelabuhan,” ucapnya.

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog