Selasa, 02 Agustus 2011

Ayo Berkompetisi Dalam Kebaikan!



 

DARI sekian banyak gelar yang Allah janjikan kepada orang-orang mukmin, salah satunya adalah gelar ‘wali’. Namun menjadi “wali Allah” bukanlah mimpi bagi mereka yang menghendakinya. Sebab, hal tersebut telah menjadi salah satu janji Allah kepada mereka yang mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan-Nya. Mafhum mukhlafah-nya, seseorang tidak akan pernah mampu menduduki derajat kewalian, manakala dia tidak pernah melakukan apa yang telah menjadi persyaratan-Nya itu.
Lalu pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan wali itu? menurut Yusuf bin Ismail al-Nabhani, dalam bukunya, “Mukjizat Para Wali Allah”(Terj), menjelaskan bahwa al-Wali itu berarti yang ‘dekat’. Jika artinya adalah kemampuan seseorang agar memiliki kedekatan kepada Allah karena ketaatannya dan keikhlasannya, maka kita semua berhak menjadi “wali Allah” dab akan senantiasa berusaha dekat kepadanya, dengan limpahan rahmat, keutamaan, dan kebaikkan, hingga mencapai jenjang al-Wilayah (kewaliyan).

Jadi, standart yang menjadi acuan layak atau tidaknya seseorang menjadi wali Allah yaitu ketaatannya. Sejauh mana dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, itu menjadi ukuran kelayakkannya.

Dalam hal ini, Allah pun telah berfirman di beberapa surat dari Al-Qur’an, “Allah adalah pelindung (wali) orang-orang yang beriman” (al-Baqarah: 257). Di surat lain Dia juga berfirman, “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung (maula) orang-orang yang beriman dan sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung” (Muhammad: 11).  

Karena itu, besarnya keimanan seseorang lah yang menjadi barometer seseorang bisa menjadi wali Allah. Ada pun keimanan, itu berkaitan erat dengan ketaatan. Sebab, makna iman sendiri adalah, “al-Tashdiqu bil-qolbi wa taqririru bil-lisaani wal-‘amalu bil-jawarih” (Mempercayai dengan hati, mengikrarkannya dengan lisan, dan mengerjakannya dengan jelas). Dan ‘sayaziidu bil-tho’aati wa yanqushu bil-ma’syiati’ (Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan).

Selain itu, dari sini bisa juga disimpulkan bahwa wali sama sekali bukanlah gelar yang disematkan oleh manusia sebagai penghormatannya terhadap tokoh tertentu. Bagaimanapun pakarnya dia dalam suatu bidang keilmuan, serta dinobatkan oleh seribu bahkan sejuta orang sekalipun sebagai wali, namun gerak-geriknya sama sekali tidak menunjukkan ketundukkan kepada Allah (yang ada justru penentangan terhadap ketetapan-ketetapan-Nya), maka sedikit pun hal tersebut tidak mampu mengangkat ‘poin’nya ke derajat al-Wilayah (kewaliyan), maka dia bukanlah termasuk wali Allah.

Seorang “wali” akan senan terjaga dari keburukkan, karena Allah akan senantiasa memiliharanya, dan mengarahkannya kepada kebaikkan. Kakinya tidak pernah dilangkahkan ke tempat-tempat maksiat, karena Allah telah menuntunnya menuju jalan kebaikkan. Begitu pula dengan pendengarannya, penglihatannya, penciumannya, tangannya, dll.

Seorang “wali”, akan senantiasa merasa bahagia dalam kondisi apa pun; baik susah maupun senang. Karena dia memahami betul makna kebahagiaan dan sumbernya. Sama sekali bukan dari materi. Kondisi apa pun yang dia hadapi, dia akan senantiasa berlapang dada. Tidak ada konsep sial dan untung baginya mengenai suatu kondisi. Semua baik baginya, karena segala sesuatu tidak mungkin terjadi kecuali atas takdir Allah, kekasih hatinya. Sebab itu, dia senantiasa bersyukur dan terus bersabar.

Sebagaiman yang pernah diilustrasikan oleh Rosulullah dalam salah satu sabdanya,bahwa sungguh menakjubkan seorang mukmin itu, apa bila dia diberi nikmat, dia bersyukur, dan apa bila diberi musibah, dia bersabar, dan kedua-duanya sama-sama baik baginya.

Pribadi macam inilah yang akan memperoleh ‘singgasana’ kewalian. Jadi, mereka tidak akan pernah merasa sedih, karena janji Allah bagi mereka adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat, telah termaktub di dalam Al-Quran. Firman-Nya,

إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالأَنْعَامُ حَتَّىَ إِذَا أَخَذَتِ الأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلاً أَوْ نَهَاراً فَجَعَلْنَاهَا حَصِيداً كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang., Lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir.

 (Yunus: 24).

Ayo,  Berkompetisi !
Hidup adalah pilihan. Begitu pula terhadap janji Allah terhadap orang-orang yang akan diangkat ke derajat wali-Nya. Itu tergantung pada pilihan mereka. Allah telah menjabarkan akan perkara-perkara yang harus mereka tempuh agar mampu merengguh posisi tersebut. Namun, semuanya kembali kepada pribadi-pribadi mukmin itu sendiri. Apakah mereka mengindahkanya, atau mengabaikannya?

Allah berfirman, إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً
“Sesungguhnya kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur”. (al-Insan: 3).

Bagi mereka yang mengharapkan hal tersebut, seyogyanyalah mereka untuk melakukan apa saja yang telah diperintahkan Allah, dan menjauhi segala larangannya. Tapi yang perlu diingat bagi mereka yang abai, sesungguhnya Allah lepas diri dari perwalian mereka. Pertanyaannya, kalau bukan Allah sebagai wali mereka, lalu siapa lagi? Jangan sampai kita termaktub dalam golongan yang Allah sebut dalam firmannya berikut, “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung (Maula) orang-orang beriman dan karena sesungguhnya  orang-orang kafir itu tidak memiliki pelindung” (Muhammad: 11).

Sebab itu, mari kita berkompetisi untuk meraihnya, sehingga kebahagiaan senantiasa menyertai kita. “Fastabiquu al-khairaat” (Berlomba-lomba lah kalian dalam kebaikkan). Wallahu ‘alam bis-shawab.*
Rep: Robinsah
Red: Cholis Akbar

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog